Sabtu, 02 Januari 2010

Hukum Menyambut dan Merayakan Hari Raya Non Muslim (Natal & Tahun Baru)

Sesungguhnya di antara konsekwensi terpenting dari sikap membenci orang-orang kafir ialah menjauhi syi'ar dan ibadah mereka. Sedangkan syi'ar mereka yang paling besar adalah hari raya mereka, baik yang berkaitan dengan tempat maupun waktu. Maka orang Islam berkewajiban menjauhi dan meninggalkannya.

Ada seorang lelaki yang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menanyakan kepadanya (yang artinya) : " Apakah disana ada berhala, dari berhala-berhala orang Jahiliyah yang disembah ?" Dia menjawab, "Tidak". Beliau bertanya, "Apakah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari raya mereka ?" Dia menjawab, "Tidak". Maka Nabi bersabda, "Tepatillah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam"
[Hadits Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim]

Hadits diatas menunjukkan, tidak bolehnya menyembelih untuk Allah di bertepatan dengan tempat yang digunakan menyembelih untuk selain Allah ; atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab hal itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi'ar-syi'ar mereka, dan juga karena menyerupai mereka atau menjadi wasilah yang mengantarkan kepada syirik. Begitu pula ikut merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung wala' (loyalitas) kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi'ar-syi'ar mereka.

Di antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak makanan-makanan sehubungan dengan hari raya mereka (kini kebanyakan berpesiar, berlibur ke tempat wisata, konser, acara musik, diakhiri mabuk-mabukan atau perzinaan.
Dan diantaranya lagi ialah mempergunakan kalender Masehi, karena hal itu menghidupkan kenangan terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu para shahabat menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya.

Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata, "Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan karena dua alasan".

Pertama. Bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa hal tersebut berarti mengikuti ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita dan tidak ada dalam kebiaasaan Salaf. Mengikutinya berarti mengandung kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka. Bahkan seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketetapan semata, bukan karena
mengambilnya dari mereka, tentu yang disyari'atkan adalah menyelisihiya karena dengan menyelisihinya terdapat maslahat seperti yang telah diisyaratkan di atas. Maka barangsiapa mengikuti mereka, dia telah kehilangan maslahat ini sekali pun tidak melakukan mafsadah (kerusakan) apapun, terlebih lagi kalau dia melakukannya.

Alasan Kedua.
Karena hal itu adalah bid'ah yang diada adakan. Alasan ini jelas menunjukkan bahwa sangat dibenci hukumnya menyerupai mereka dalam hal itu".

Beliau juga mengatakan, "Tidak halal bagi kaum muslimin ber-Tasyabuh (menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka ; seperti, makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan kebiasaan seperti bekerja dan beribadah ataupun yang lainnya. Tidak halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang yang diperlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak ataupun yang lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakkan perhiasan.

Ringkasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas dari syi'ar mereka pada hari itu. (Dalam Iqtidha Shirathal Mustaqim, pentahqiq Dr Nashir Al-'Aql 1/425-426).

Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti hari-hari biasanya, tidak ada hal istimewa atau khusus yang dilakukan umat Islam. Adapun jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam dengan sengaja [1] maka berbagai golongan dari kaum salaf dan khalaf menganggapnya makruh. Sedangkan pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada perbedaan di antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap kafir orang yang melakukan hal tersebut, karena dia telah mengagungkan syi'ar-syi'ar kekufuran.

Segolongan ulama mengatakan. "Siapa yang menyembelih kambing pada hari raya mereka (demi merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih babi". Abdullah bin Amr bin Ash berkata, "Siapa yang mengikuti negera-negara 'ajam (non Islam) dan melakukan perayaan Nairuz [2] dan Mihrajan [3] serta menyerupai mereka sampai ia meninggal dunia dan dia belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada Hari Kiamat.

Selengkapnya...

Senin, 28 Desember 2009

Tawadhu'

Sikap merendah tanpa menghinakan diri- merupakan sifat yang sangat terpuji di hadapan Allah dan seluruh makhluk-Nya. Sudahka h kita memilikinya?

Merendahkan diri (tawadhu’) adalah sifat yang sangat terpuji di hadapan Allah dan juga di hadapan seluruh makhluk-Nya. Setiap orang mencintai sifat ini sebagaimana Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Sifat terpuji ini mencakup dan mengandung banyak sifat terpuji lainnya.

Tawadhu’ adalah ketundukan kepada kebenaran dan menerimanya dari siapapun datangnya baik ketika suka atau dalam keadaan marah. Artinya, janganlah kamu memandang dirimu berada di atas semua orang. Atau engkau menganggap semua orang membutuhkan dirimu.

Lawan dari sifat tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah mendefinisikan sombong dengan sabdanya: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu)

Jika anda mengangkat kepala di hadapan kebenaran baik dalam rangka menolaknya, atau mengingkarinya berarti anda belum tawadhu’ dan anda memiliki benih sifat sombong.

Tahukah anda apa yang diperbuat Allah subhanahu wa ta’ala terhadap Iblis yang terkutuk? Dan apa yang diperbuat Allah kepada Fir’aun dan tentara-tentaranya? Kepada Qarun dengan semua anak buah dan hartanya? Dan kepada seluruh penentang para Rasul Allah? Mereka semua dibinasakan Allah subhanahu wa ta’ala karena tidak memiliki sikap tawadhu’ dan sebaliknya justru menyombongkan dirinya.

Tawadhu’ di Hadapan Kebenaran
Menerima dan tunduk di hadapan kebenaran sebagai perwujudan tawadhu’ adalah sifat terpuji yang akan mengangkat derajat seseorang bahkan mengangkat derajat suatu kaum dan akan menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi dan kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 83)

Fudhail bin Iyadh rahimahullahu (seorang ulama generasi tabiin) ditanya tentang tawadhu’, beliau menjawab:
“Ketundukan kepada kebenaran dan memasrahkan diri kepadanya serta menerima dari siapapun yang mengucapkannya.” (Madarijus Salikin, 2/329).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak akan berkurang harta yang dishadaqahkan dan Allah tidak akan menambah bagi seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan akan Allah angkat derajatnya.” (Shahih, HR. Muslim no. 556 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)

Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitab Madarijus Salikin (2/333) berkata:
“Barangsiapa yang angkuh untuk tunduk kepada kebenaran walaupun datang dari anak kecil atau orang yang dimarahinya atau yang dimusuhinya maka kesombongan orang tersebut hanyalah kesombongan kepada Allah karena Allah adalah Al-Haq, ucapannya haq, agamanya haq. Al-Haq datangnya dari Allah dan kepada-Nya akan kembali. Barangsiapa menyombongkan diri untuk menerima kebenaran berarti dia menolak segala yang datang dari Allah dan menyombongkan diri di hadapan-Nya.”

Perintah untuk Tawadhu’
Dalam pembahasan masalah akhlak, kita selalu terkait dan bersandar kepada firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasul teladan yang baik.” (Al-Ahzab: 21)

Dalam hal ini banyak ayat yang memerintahkan kepada beliau untuk tawadhu’, tentu juga perintah tersebut untuk umatnya dalam rangka meneladani beliau. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara: 215).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat zhalim atas yang lain.” (Shahih, HR Muslim no. 2588).

Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kepada kita bahwa tawadhu’ itu sebagai sebab tersebarnya persatuan dan persamaan derajat, keadilan dan kebaikan di tengah-tengah manusia sebagaimana sifat sombong akan melahirkan keangkuhan yang mengakibatkan memperlakukan orang lain dengan kesombongan.

Macam-macam Tawadhu’
Telah dibahas oleh para ulama sifat tawadhu’ ini dalam karya-karya mereka, baik dalam bentuk penggabungan dengan pembahasan yang lain atau menyendirikan pembahasannya. Di antara mereka ada yang membagi tawadhu’ menjadi dua:

1. Tawadhu’ yang terpuji yaitu ke-tawadhu’-an seseorang kepada Allah dan tidak mengangkat diri di hadapan hamba-hamba Allah.
2. Tawadhu’ yang dibenci yaitu tawadhu’-nya seseorang kepada pemilik dunia karena menginginkan dunia yang ada di sisinya. (Bahjatun Nazhirin, 1/657).

Wallahu a’lam.

Selengkapnya...

pemahaman islam yang benar, adalah ?

Upaya penyaringan terhadap segala hal yang bukan berasal dari ajaran Islam, baik dalam hal Aqidah, Ahkam (hukum) maupun Akhlaq, selayaknya terus dilakukan, agar Islam kembali bersih berseri, murni dalam naungan risalah sebagaimana risalah yang telah diturunkan kepada Muhammad Shalallahu 'alaihi wa Sallam dan diajarkan pada Sahabatnya, yang diteruskan oleh pengikutnya hingga hari kiamat.

Upaya penyaringan terhadap segala hal yang bukan berasal dari ajaran Islam, baik dalam hal Aqidah, Ahkam (hukum) maupun Akhlaq, selayaknya terus dilakukan, agar Islam kembali bersih berseri, murni dalam naungan risalah sebagaimana risalah yang telah diturunkan kepada Muhammad Shalallahu 'alaihi wa Sallam dan diajarkan pada Sahabatnya, yang diteruskan oleh pengikutnya hingga hari kiamat.

Maka untuk tujuan tersebut, maka perlu digencarkan pendidikan atas generasi muslim dengan Islam yang murni dengan Tarbiyah Imaniyyah (pendidikan keimanan), sehingga membekas di lubuk hati para kader Islam. Maka disinilah peran Dakwah Salafiyyah, yang berpegang dengan pemahaman Rasulullah beserta Sahabatnya, yang terus berupaya menegakkan tonggak Islam di atas tonggak yang mengokohkan Islam di masa lalu.

Menjadi suatu keharusan mutlak bagi setiap Muslim, yang menginginkan kesuksesan dan merindukan kehidupan yang mulia, serta kemenangan di dunia dan di akhirat, bahwa dalam memahami Al Qur'an dan As Sunnah yang shahih harus dengan pemahaman Muslimin yang terbaik (Salaful Ummah) yaitu para Sahabat Rasulullah dan Tabi'in (murid Sahabat), serta siapapun yang mengikuti jalan mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Dipilihnya metode ini, karena tidak dapat dibandingkan (dengan siapaun, selain dengan Rasulullah) kelurusan, kebenarannya, dalam fikrah, pemahaman dan manhaj yang lebih benar dan lebih lurus dibanding pemahaman dan manhaj Salafus Shalih (jalannya para Salaf yakni Sahabat Rasulullah, Tabi'in dan Pengikutnya, yang Shalih hingga hari kiamat).


Oleh karena itu tidak akan pernah bisa baik kehidupan umat yang akhir ini kecuali dengan apa yang telah menjadikan baik generasi awal.
Apabila kita teliti dengan seksama dalil-dalil dari Al Qur'an maupun As Sunnah serta ijma' dan qiyas maka bisa disimpulkan dari dalil-dalil tersebut tentang wajibnya memahami Al Qur'an dan As Sunnah dalam bimbingan manhaj Salafus Sholih, karena itu merupakan pemahaman yang disepakati kebenarannya sepanjang abad perjalanan dakwah ini.


Maka itu tidak dibenarkan bagi siapa saja, setinggi apapun kedudukannya, memahami Islam ini selain pemahaman Salafus Sholih (pemahamannya dapat dilihat di tafsir Al Quran karya para Sahabat, penjelasan hadits dalam kitab-kitab Hadist dan tulisan-tulisan para Sahabat & pengikutnya). Dan siapapun juga yang membenci pemahaman Salaf lalu menggantinya dengan bid'ah-bid'ah orang belakangan (orang-orang sesudah generasi Salaf ) yang diracuni dengan berbagai pemahaman yang membahayakan dan yang tidak selamat dari pemahaman asing, akan mengakibatkan tercerai-berainya kamu muslimin.
Sesungguhnya Salafus Shalih Radiyallahu anhum telah nyata kebaikan mereka baik dalam nash maupun istimbat, Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 100. "Dan generasi yang terdahulu dan pertama-tama (masuk Islam) diantara kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka (Muhajirin & Anshar = Sahabat/Salafus Sholih) dan mereka ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya mereka kekal didalamnya selama- lamanya. Itulah kemenangan yang agung. Dengan dalil ayat ini (QS At Taubah 100) dapat diambil pemahaman bahwa Allah Sang Pencipta telah memuji terhadap mereka yang mengikuti kepada sebaik-baik manusia. Telah diketahui bahwa apabila sebaik-baik manusia itu mengatakan suatu perkataan, kemudian ada seseorang yang mengikuti mereka, maka dia wajib untuk mendapatkan pujian dan berhak untuk mendapatkan keridhaan.

Kalau seandainnya sikap ittiba' mereka tidak membedakan dengan selain mereka (yang tidak ittiba') maka dia tidaklah berhak mendapatkan pujian dan keridhaan. Siapakah sebaik-baik manusia itu? Mereka adalah para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur'an surat Al Bayyinah : 7 "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih merekalah sebaik-baik manusia". Allah berfirman dalam surat Ali Imran : 110 : "Kalian adalah umat terbaik yang telah ditampilkan untuk manusia, kalian telah beramar makruf dan bernahi munkar dan beriman kepada Allah".

Dari sini kita mendapatkan petunjuk bahwa Allah telah memuji dan menyatakan keutamaan mereka (Sahabat) atas segala umat, dan apabila ingin dipuji ALLAH juga, maka ummat ini harus istiqamah dalam segala hal mengikuti Salafus Sholih.
Disamping itu Salafus Sholih sesungguhnya memang tidak pernah menyimpang dari cahaya (petunjuk Ilmu Al Quran dan Sunnah) yang terang benderang (Al Haq) ini. Maka jika ada yang berkata :"Ini (gelar sebaik-baik umat, pen.) bersifat umum dalam umat ini, tidak hanya terbatas pada generasi Sahabat saja,"saya katakan bahwa mereka (para sahabat) adalah obyek pembicaraan yang pertama, dan orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak masuk dalam pembicaraan ayat diatas, kecuali kalau ada penjelasan dengan qiyas atau dalil lain sebagaimana dalam dalil pertama.

Secara umum dan ini yang benar, Sahabat adalah yang pertama kali masuk dalam obyek pembicaraan karena merekalah yang pertama kali mengambil ilmu dan amal langsung dari Rasullullah Shalallahu 'alaihi wa salam tanpa perantara, dan merekalah yang mendapat kabar gembira dengan wahyu ini.
Oleh karena itu, merekalah yang paling pertama masuk dalam pembicaraan ayat ini dibanding yang lain disebabkan sifat-sifat yang telah diberikan kecuali kepada mereka (para Sahabat). Pun kecocokan sifat dengan pensifatan Allah adalah merupakan bukti bahwa mereka lebih berhak mendapatkan pujian dari pada yang lain. Sabda Rasullullah Shalallahu 'alaihi wa salam : "Sebaik- baik manusia adalah generasiku (generasi Rasulullah & Shahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (Tabi'in) kemudian orang-orang sesudah mereka (Tabi'ut Tabi'in.). Sesudah itu akan datang kaum yang kesaksian mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya." (HR. Bukhari IV/189, Muslim VII/184-185, Ahmad I/424 dll).


Apakah kebaikan yang ditetapkan kepada para Sahabat yang dimaksudkan adalah dalam hal bentuk mereka? Atau jasad mereka, harta mereka, tempat tinggal mereka, atau ?? Tidak diragukan lagi bagi orang yang memiliki akal yang sempurna, memahami Al Qur'an dan As Sunnah dengan benar, bahwa bukan itu semua yang dimaksudkan disini, sama sekali bukan.

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam tidaklah berbicara dengan hawa nafsunya. Apa saja yang berasal darinya adalah Ar-Rusyd (Al Haq) dan Al Huda (petunjuk). Para sahabat semuanya adil (jujur). Mereka tidak berbicara kecuali dengan jujur dan tidak beramal kecuali dengan haq. Demikian para sahabat. Mengikuti mereka akan memberi keselamatan dari kegelapan syahwat (kebrutalan hawa nafsu) dan subhat (bahaya pengaburan), dan siapapun yang berpaling dari pemahaman para sahabat maka dia berada dalam kesesatan dimana kegelapan demi kegelapan semakin melilitnya sehingga kalau dia mengulurkan tangannya hampir tidak akan terlihat. Dengan pemahaman sahabat, kita membentengi Al Qur'an dan As Sunnah dari berbagai bid'ah setan dari jenis manusia ataupun jin. Mereka hanya menginginkan timbulnya fitnah dan menghendaki takwilnya untuk merusak apa yang dimaksudkan Allah dan Rasul-Nya. Maka pemahaman sahabat radhiallahu anhum adalah benteng dari segala keburukan dan benteng dari sebab-sebab yang menimbulkannya. Kalau pemahaman para sahabat tidak bisa dijadikan hujjah maka mustahil pemahaman generasi setelah para sahabat menjaga pemahaman para sahabat dan menjadi benteng baginya. Apabila pengkhususan dan pembatasan ini ditolak yaitu wajibnya memahami Al Qur'an dan as Sunnah yang shahih dengan pemahamannya ' maka akan semakin jauhlah seorang muslim dari "kebenaran yang mutlak," dan (yang lebih buruk lagi) berbagai firqah dan partai akan menjadi terhalang untuk kembali ke jalan yang benar.

Sesungguhnya Al Qur'an dan As Sunnah adalah merupakan penangkal berbagai pemahaman yang menyimpang seperti : Mu'tazilah, Murji'ah, Jahmiyyah, Syi'ah, Tasawwuf/Sufi, Khawarij, Bathiniyyah, dan selain mereka, maka tidak boleh tidak harus ada pemisahan.
Wallahu a'lam

Selengkapnya...